Paijo

Senin, 16 Desember 2013

Islam dan Kebudayaan di Indonesia





BAB  II
PEMBAHASAN
2.1 ISLAM DAN KEBUDAYAAN INDONESIA
A. Kedatangan Islam
Sampai saat ini waktu kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara pasti, dan memang sulit untuk mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh suatu komunitas tertentu. Di samping itu wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, mengakibatkan suatu daerah mungkin lebih awal menerima pengaruh Islam dari pada daerah lain. Beberapa ahli menyebutkan bahwa berdasarkan berita Cina dari dinasti Tang, Islam sudah mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad VII-VIII M. Berita tersebut menceritakan bahwa orang Ta-shih mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-ling yang dipimpin Ratu Si-mo, karena pemerintahan di Ho-ling sangat kuat. Meskipun hal itu tidak dapat diartikan bahwa orang Islam belum menjejakkan kakinya di bumi Indonesia. Namun, paling tidak mungkin belum terbentuk komunitas Muslim yang cukup signifikan.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir abad XI M di Indonesia, khususnya di Jawa. Leran, di dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama: Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, dan disebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 475 H. bersamaan dengan tahun 1082 M. Artinya masih dalam periode kekuasaan kerajaan Kadiri. Namun, tidak jelas betul apakah mereka bumiputera yang memeluk agama Islam, ataukah pendatang yang menetap di pelabuhan terdekat. Dari sisi lain, nama Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun. Tidak seperti nama Malik al-Saleh dari Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar al-sultan. Dengan demikian berarti Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa. Hal ini dapat difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih solid di kerajaan Kadiri. Setelah tahun 1082 M. data tentang keberadaan orang Islam di Nusantara baru muncul pada abad XIII M, yaitu dalam bentuk nisan berprasasti huruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatra Utara). Prasasti itu memuat nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya, yaitu 602 H. yang bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga ia adalah seorang wanita bumiputera yang memeluk agama Islam. Selain itu, ia juga diduga seorang anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh gelar atau sebutan kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di wilayah Barus memang belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang bercorak Islam. Meskipun Barus sebagai produsen kapur barus sudah dikenal dunia internasional jauh sebelum tarikh Masehi.

B. Penyebaran Islam
Sebelum kesultanan Demak lahir, penyebaran agama Islam di Jawa sudah dilakukan, baik oleh orang asing maupun oleh bumiputera sendiri. Adapun cara-cara penyebaran yang dilakukan antara lain melalui pernikahan dengan wanita setempat, dakwah, pendidikan, dan kesenian. Sebagian penyebar agama Islam itu, beberapa di antaranya tergolong dalam Wali Sanga, penyebaran Islam juga ditujukan ke pulau-pulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebaran tersebut dipelopori oleh para ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan politis dari para penguasa. Hal semacam ini tampak dalam penyebaran Islam misalnya di Kalimantan Selatan. Pada tahap awalnya Islam disebarkan di Nusantara melalui jalur perdagangan, dalam arti Islam dibawa dan diperkenalkan kepada masyarakat Nusantara oleh para pedagang asing. Hal itu sejalan dengan lalu lintas perdagangan pada abad VII – XVI M, yakni dari Asia Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Asia Tenggara, serta sebaliknya. Di samping itu, di dalam Islam menyampaikan ajaran agama kepada pihak lain merupakan kewajiban bagi semua orang.
Jalur lain yang juga memegang peran dalam penyebaran Islam di Nusantara adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi (= ulama ahli tasawuf) mengandung persamaan dengan konsep-konsep pikiran mistis Hindu-Budha yang berkembang di Nusantara waktu itu. Hal itulah yang antara lain mempermudah Islam diterima oleh masyarakat Nusantara. Kecuali melalui perdagangan, perhikahan, dan tasawuf, penyebaran Islam juga dilakukan melalui pendidikan.
Cara penyebaran Islam yang lain adalah melalui seni, misalnya seni sastra, seni pertunjukan, seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Melalui seni pertunjukan, misalnya wayang yang digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam dapat disampaikan dengan cara disisipkan dalam lakon-lakon yang masih didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa Kuno. Seni bangunan juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara.
Pada tahap berikutnya, penyebaran Islam tampaknya dalam banyak hal sudah dilakukan oleh orang-orang bumiputera sendiri. Hal ini tampak dari peran para wali di Jawa, dan ulama-ulama lain seperti Dato’ ri Bandang di Sulawesi Selatan, serta Tuanku Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Di dalam sumber-sumber tertulis setempat dikisahkan bahwa mereka menyebarkan agama Islam kepada para pemuka masyarakat, dan mendirikan pesantren yang banyak menarik murid dari berbagai daerah.

C. Perubahan dan Kesinambungan Budaya
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Jawa, yang pada dasarnya merupakan “perkawinan” antara kalender Caka dan Hijriyah. Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti Masjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief candi.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indonesia kala itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpor dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dan sebagainya.
Bahkan di pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di Jawa, juga dapat dilihat adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta permukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan status sosial.














2.2 ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA
Masyarakat jawa, atau tepatnya suku bangsa jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun, sedangkan pengertian Jawa yang dimaksud adalah pulau yang terbentang diantara kepulauan Nusantara, yang konon banyak menghasilkan jewawut (padi-padian), dari kata itulah kemudian dikenal dengan jawa.
Kebudayaan jawa telah ada sejak zaman prasejarah, datangnya Hindu dengan kebudayaannya dipulau jawa melahirkan kebudayaan Hindu-Jawa, dan dengan masuknya islam, maka kebudayaan jawa menjadi sifat sinkretis yang memadukan unsur-unsur asli jawa, Hindu Jawa, dan Islam dalam satu kebudayaan Jawa.
A.    Kepercayaan Masyarakat Jawa
1. Animisme dan Dinamisme
Salah satu ciri masyarakat jawa adalah berketuhanan, suku bangsa jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri, mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat untuk memuja nenek moyang.
Seperti halnya upacara-upacara yang lainnya yakni slametan surtanah, slametan telung dino, slametan mitung dino sampai slametan ngewis-ngewisi atau peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir kalinya.
Sedangkan dinamisme masyarakat jawa beranggapan bahwa semua yang bergerak itu hidup dan mempunyai kekuatan gaib/ memiliki watak baik atau buruk, dan agar terhindar dari itu mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji, disamping itu merka percaya bahwa apa telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi  pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penetuan dari kehidupan seluruhnya.

2. Masa Hindu dan Budha
Bukti-bukti tertua mengenai adanya negara-negara Hindu Jawa berupa prasasti-prasasti dari batu yang ditemukan dipantai utara jawa barat. Dari tulisannya dapat diketahui bahwa prasasti itu merupakan suatu deskripsi mengenai beberapa upacara yang dilakukan oleh raja untuk meresmikan  bangunan irigasi dan bangunan keagamaan abad ke-4, bukti yang lainnya bahwa banyak nama tempat dipulau Jawa  yang berasal dari bahasa sansekerta, yang membuktikan adanya kehendak  untuk menciptakan kembali geografi india yang dianggap keramat itu. Bukan hanya gunung-gunungnya, tetapi juga kerajaan-kerajaan yang namanya dipinjam dari Mahabarata.
Seperti halnya pada masa animisme dan dinamisme masyarakat Jawa maka pada masa hinduppun ada upacara-upacara, yakni wiwit yang diwujudkan pada pemujaan dewi sri, upacara kurban kerbau, pagelaran wayang kulit dan juga penjamasan dan perawatan pusaka serta grebeg, dan sebagainya.
3.      Masa Islam
Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah yang beragam. Bukti faktual barangkali adalah ditemukannya batu nisan kubur Fatimah binti Maemun di Leran Gresik, bukti yang lain adalah adanya masjid yang menunjukkan adanya komunitas muslim yang pernah ada, dan juga adanya kaligrafi serta letak tata kota.
Sulit untuk mengetahui tokoh yang pertama kali memperkenalkan islam di Jawa dari fakta tradisional, akan tetapi hal itu dapat ditelusuri melalui alur hubungan negeri Cempa-Majapahit. Ditemukannya beberapa makam  disitus istana Majapahit, yang pada kesimpulan bahwa makam tersebut adalah makam orang-orang muslim dan menunjukkan tahun kejayaan majapahit.
Islam yang berkembang di Indonesia mula-mula adalah sufi yang salah satu cirinya adalah sifatnya yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, namun hal ini disatu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisme dan pencampur adukan antara islam dan budaya asli, namun aspek positifnya, ajaran yang disinkretasikan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan Jawa dalam menerima Islam.
Konsep masuknya unsur-unsur simbolisme dan ikonografi Hindu dan Budha kedalam Islam Jawa sama seperti Islam di timur tengah menyerap unsur-unsur tradisi Hellenistik dan Persia.
Sebagai contoh upacara surtanah, nelung dino, mitung dino, matang puluh, nyatus, mendah, dan  nyewu, tidak dihilangkan tetapi dibiarkan berlanjut diwarnai dan diisi dengan unsur dari agama islam. Midodareni yang merupakan upacara yang dilangsungkan pada malam hari pernikahan, yang mana dsimaksudkan agar keluarga pengantin lebih dekat dengan bidadari dan saat itu pengantin tidak boleh tidur sampai tengah malam maka saat islam datang diganti dengan pembacaan Al Barzanji, Kalimah Thoyyibah dan Tahlil. Dan sebagainya.
Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selametan, didalam upacara ini yang pokok adalah pembacaan doa.
Dari uraian diatas tentang hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan ritual diatas menunjukkan secara jelas, baik tersirat maupun tersurat, secara langsung maupun tidak langsung bahkan memang telah terjadi dalam kehidupan keberagaman orang Jawa suatu upaya untuk mengakomodasikan antara nilai-nilai Islam dengan Budaya Jawa pra-Islam.














2.3 ISLAM DAN KEBUDAYAAN MELAYU
Sebenarnya yang disebut Melayu bukanlah suatu komunitas etnik atau suku bangsa. Namun dalam hal ini masyarakat merupakan kumpulan etnik-etnik serumpun yang menganut agama yang sama dengan menggunakan bahasa yang sama. Etnik-etnik serumpun yang lain pada umumnya menempati suatu daerah tertentu, tetapi arang Melayu tidak, dimanapun berada bahasa dan agama mereka sama, melayu dan islam. Karena itu tidak mengherankan apabila ke-Melayuan identik dengan ke-susastraan Islam.
Kepulauan melayu merupakan gerbang masuk terdepan bagi pelayaran ketimur. Karena itu tidak heran jika kerajaan-kerajaan islam awal seperti samudra pasai (1270-1514 M) dan Malaka (1400-1511 M) muncul disini.
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Baruspun masuk dalam wilayah Aceh.
Abad ke-16 dikepulauan Melayudan pesisir Jawa tradisi intelektual Islam mulai terbentuk, kitab-kitab keagaamaan dan sastra Islam telah ditulis dengan produktifnya dengan bahasa Melayu dan Jawa Madya. Pengaruh tasawuf sangat dominan dalam pemikiran keagamaan dan penulisan karya sastra. Pokok-pokok yang dibahas dalam kitab-kitab melayu meliputi bidang fiqih, syari’ah, ushuluddin, kalam, falsafah, akhlak, tafsir qur’an, hadits dan lainnya.
Abad ke-18, terjadi proses ortodoksi atau penekanan terhadap syari’ah. Beberapa tarikat sufi mengalami pembaruan dan tumbuh menjadi organisasi keagamaan pada aktivisme keduniaan.
Penempatan pusat-pusat kajian dalam agama Islam yaitu istana, pesantren dan pasar. Istana sebagai pusat kekuasaan berperan dibidang politik dan penataan kehidupan sosial. Pesantren berperan dibidang pendidikan, sebagai pusat kegiatan tariqat sufi, pada saat itulah pesantren mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran agama dalam berbagai tingkatan dan antar daerah.
A.    Nilai budaya masyarakat Melayu
Usaha dalam menghidupkan kebudayaan Melayu akhir-akhir ini berlangsung cukup marak. Berbagai kegiatan dalam usaha menghidupkan kebudayaan Melayu kerap kali dilakukan, mulai dari penerbitan buku, festival, seminar, sampai pemberian penghargaan dalam memajukan kebudayaan Melayu. Semua itu jelas menunjukkan adnya kesadaran  genersi Melayu akan kebesaran kebudayaan mereka dan pentingnya menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu itu sendiri kini dan esok, bahkam juga memajukannya  sampai pada tingkat yang membanggakan, seperti yang telah dicapai kebudayaan Melayu pada masa lampau.
Etos kerja Melayu meliputi :
a)    Hubungan manusia dengan Tuhan
Unsur-unsur penting dari kebudayaan Melayu yaitu :
1)        Bahasa Melayu, sejak abad ke-7  bahasa Melayu sudah menjadi lingua-franca (bahasa penghubung) dalam dunia perdagangan, disamping itu bahasa Melayu juga menghasilkan corak atau watak dalam bahasa itu sendiri.
2)        Beradat istiadat Melayu, hal ini terlihat dalam pepatah Melayu mengatakan ” Biar mati anak jangan sampai mati adat”. Artinya kalau mati anak ributnya hanya satu kampung, kalau mati adat akan ribut atau gempar satu negara.
3)        Beragama Islam, Islam merupakan salah satu sumber isi sekaligus bentuk kebudayaan Melayu dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kebudayaan Melayu juga nengajarkan hal-hal yang dilarang maupun yang diperbolehkan, sebagaimana sesuai dengan ajaran Islam.
b)     Hubungan manusia dengan lingkungan Masyarakat dengan lingkungan.
1)            Hubungan Vertikal, seseorang yang mengutamakan hubungan ini lebih bersifat individualitis, menilai tinggi anggapan bahwa manusia itu harus berdiri sendiri, namun dalam penyampaiannya tetap memerlukan bantuan orang lain.
2)           Hubungan Horizontal antar manusia dengan sesamanya, seseorang yang mengutamakan hubungan ini akan sangat merasa kepada sesamanya.
c)      Hubungan manusia pada lingkungan alam
Pada umumnya dalam kehidupan masyarakat Melayu, mereka membedakan wujud alam menjadi 2 yaitu :
1)      Alam gaib, pada dasarnya pemikiran orang Melayu mengenai alam gaib merupakan sisa-sisa kepercayaan lama sebelum orang Melayu memeluk Islam yakni animisme dan dinamisme. Pemikiran tentang adanya alam gaib membuahkan kepercayaan adanya kekuasaan diluar kekuasaan manusia, seperti adanya gunung, laut, hutan dan sebagainya. Untuk menjembatani hubungan manusia dengan alam, masyarakat meminta bantuan kepada pawang, bomo atau dukun, yang mana dipercayai memiliki mantera-mantera tertentu.
2)      Alam Nyata yakni alam semesta ciptaan Tuhan, yang keberadaannya bisa dilihat dan dirasakan oleh manusia.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar