BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 ISLAM DAN
KEBUDAYAAN INDONESIA
A. Kedatangan Islam
Sampai saat ini waktu kedatangan
Islam di Indonesia belum diketahui secara pasti, dan memang sulit untuk
mengetahui kapan suatu kepercayaan mulai diterima oleh suatu komunitas
tertentu. Di samping itu wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak daerah perdagangan
yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, mengakibatkan suatu
daerah mungkin lebih awal menerima pengaruh Islam dari pada daerah lain.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa berdasarkan berita Cina dari dinasti Tang,
Islam sudah mulai diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada abad VII-VIII
M. Berita tersebut menceritakan bahwa orang Ta-shih mengurungkan niatnya untuk
menyerang kerajaan Ho-ling yang dipimpin Ratu Si-mo, karena pemerintahan di
Ho-ling sangat kuat. Meskipun hal itu tidak dapat diartikan bahwa orang Islam
belum menjejakkan kakinya di bumi Indonesia. Namun, paling tidak mungkin belum
terbentuk komunitas Muslim yang cukup signifikan.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa
pada akhir abad XI M di Indonesia, khususnya di Jawa. Leran, di dekat kota
Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama: Fatimah binti Maimun
bin Hibatallah, dan disebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 475 H. bersamaan
dengan tahun 1082 M. Artinya masih dalam periode kekuasaan kerajaan Kadiri.
Namun, tidak jelas betul apakah mereka bumiputera yang memeluk agama Islam,
ataukah pendatang yang menetap di pelabuhan terdekat. Dari sisi lain, nama
Fatimah tidak diawali oleh gelar apapun. Tidak seperti nama Malik al-Saleh dari
Samudra-Pasai yang diawali dengan gelar al-sultan. Dengan demikian berarti
Fatimah adalah seorang muslimat dari kalangan rakyat biasa. Hal ini dapat
difahami karena waktu itu pusat kekuasaan yang bercorak Hindu masih solid di
kerajaan Kadiri. Setelah tahun 1082 M. data tentang keberadaan orang Islam di
Nusantara baru muncul pada abad XIII M, yaitu dalam bentuk nisan berprasasti
huruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatra
Utara). Prasasti itu memuat nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun meninggalnya,
yaitu 602 H. yang bersamaan dengan tahun 1205 M. Ditilik dari namanya, diduga
ia adalah seorang wanita bumiputera yang memeluk agama Islam. Selain itu, ia
juga diduga seorang anggota masyarakat biasa, karena namanya tidak diawali oleh
gelar atau sebutan kebangsawanan. Akan tetapi, sangat mungkin pada waktu itu di
wilayah Barus memang belum terbentuk institusi politik atau kerajaan yang
bercorak Islam. Meskipun Barus sebagai produsen kapur barus sudah dikenal dunia
internasional jauh sebelum tarikh Masehi.
B. Penyebaran Islam
Sebelum kesultanan Demak lahir,
penyebaran agama Islam di Jawa sudah dilakukan, baik oleh orang asing maupun
oleh bumiputera sendiri. Adapun cara-cara penyebaran yang dilakukan antara lain
melalui pernikahan dengan wanita setempat, dakwah, pendidikan, dan kesenian.
Sebagian penyebar agama Islam itu, beberapa di antaranya tergolong dalam Wali
Sanga, penyebaran Islam juga ditujukan ke pulau-pulau lain, seperti Maluku,
Lombok, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebaran tersebut dipelopori oleh para
ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan politis dari para
penguasa. Hal semacam ini tampak dalam penyebaran Islam misalnya di Kalimantan
Selatan. Pada tahap awalnya Islam disebarkan di Nusantara melalui jalur
perdagangan, dalam arti Islam dibawa dan diperkenalkan kepada masyarakat
Nusantara oleh para pedagang asing. Hal itu sejalan dengan lalu lintas
perdagangan pada abad VII – XVI M, yakni dari Asia Barat dan Asia Selatan ke
Asia Timur dan Asia Tenggara, serta sebaliknya. Di samping itu, di dalam Islam
menyampaikan ajaran agama kepada pihak lain merupakan kewajiban bagi semua
orang.
Jalur lain yang juga memegang peran
dalam penyebaran Islam di Nusantara adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang
diberikan oleh para sufi (= ulama ahli tasawuf) mengandung persamaan dengan
konsep-konsep pikiran mistis Hindu-Budha yang berkembang di Nusantara waktu
itu. Hal itulah yang antara lain mempermudah Islam diterima oleh masyarakat
Nusantara. Kecuali melalui perdagangan, perhikahan, dan tasawuf, penyebaran Islam
juga dilakukan melalui pendidikan.
Cara penyebaran Islam yang lain
adalah melalui seni, misalnya seni sastra, seni pertunjukan, seni musik, seni
pahat, dan seni bangunan. Melalui seni pertunjukan, misalnya wayang yang
digemari masyarakat Jawa, ajaran agama Islam dapat disampaikan dengan cara
disisipkan dalam lakon-lakon yang masih didasarkan pada ceritera-ceritera Jawa
Kuno. Seni bangunan juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di
Nusantara.
Pada tahap berikutnya, penyebaran
Islam tampaknya dalam banyak hal sudah dilakukan oleh orang-orang bumiputera
sendiri. Hal ini tampak dari peran para wali di Jawa, dan ulama-ulama lain
seperti Dato’ ri Bandang di Sulawesi Selatan, serta Tuanku Tunggang di Parang
di Kalimantan Timur. Di dalam sumber-sumber tertulis setempat dikisahkan bahwa
mereka menyebarkan agama Islam kepada para pemuka masyarakat, dan mendirikan
pesantren yang banyak menarik murid dari berbagai daerah.
C. Perubahan dan Kesinambungan
Budaya
Masuk dan berkembangnya Islam di
Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi kemudian muncul
masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di dalam masyarakat dihapus, arca dewa-dewa
serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Bahkan pada abad XVII M
Sultan Agung memunculkan kalender Jawa, yang pada dasarnya merupakan
“perkawinan” antara kalender Caka dan Hijriyah. Akan tetapi, pada sisi lain
budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula
kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub makam
mengambil bentuk atap tumpang, seperti Masjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya
sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief
candi.
Bangunan makam Islam merupakan hal
baru di Indonesia kala itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub,
dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti
makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan
benda yang diimpor dalam bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab
pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam
berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang digunakan, misalnya
lengkung kurawal, patra, dan sebagainya.
Bahkan di pemakaman raja-raja Binamu
di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang yang dimakamkan.
Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota
kerajaan di Jawa, juga dapat dilihat adanya perubahan dan kesinambungan. Di
civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar
yang ditata menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan
lain, serta permukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai
dengan jenis pekerjaan, asal, dan status sosial.
2.2 ISLAM DAN KEBUDAYAAN
JAWA
Masyarakat jawa, atau tepatnya suku bangsa
jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup
kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara
turun temurun, sedangkan pengertian Jawa yang dimaksud adalah pulau yang
terbentang diantara kepulauan Nusantara, yang konon banyak menghasilkan jewawut
(padi-padian), dari kata itulah kemudian dikenal dengan jawa.
Kebudayaan jawa telah ada sejak zaman
prasejarah, datangnya Hindu dengan kebudayaannya dipulau jawa melahirkan
kebudayaan Hindu-Jawa, dan dengan masuknya islam, maka kebudayaan jawa menjadi
sifat sinkretis yang memadukan unsur-unsur asli jawa, Hindu Jawa, dan Islam
dalam satu kebudayaan Jawa.
A.
Kepercayaan Masyarakat Jawa
1. Animisme dan Dinamisme
Salah satu ciri masyarakat jawa adalah
berketuhanan, suku bangsa jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan
animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada
benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri, mereka
membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus
pengerjaannya sebagai tempat untuk memuja nenek moyang.
Seperti halnya upacara-upacara yang lainnya
yakni slametan surtanah, slametan telung dino, slametan mitung dino sampai
slametan ngewis-ngewisi atau peringatan saat kematian seseorang untuk
terakhir kalinya.
Sedangkan dinamisme masyarakat jawa
beranggapan bahwa semua yang bergerak itu hidup dan mempunyai kekuatan gaib/
memiliki watak baik atau buruk, dan agar terhindar dari itu mereka menyembahnya
dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji, disamping itu merka
percaya bahwa apa telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi
pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penetuan dari
kehidupan seluruhnya.
2. Masa Hindu dan Budha
Bukti-bukti tertua mengenai adanya
negara-negara Hindu Jawa berupa prasasti-prasasti dari batu yang ditemukan
dipantai utara jawa barat. Dari tulisannya dapat diketahui bahwa prasasti itu
merupakan suatu deskripsi mengenai beberapa upacara yang dilakukan oleh raja
untuk meresmikan bangunan irigasi dan bangunan keagamaan abad ke-4, bukti
yang lainnya bahwa banyak nama tempat dipulau Jawa yang berasal dari
bahasa sansekerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan
kembali geografi india yang dianggap keramat itu. Bukan hanya gunung-gunungnya,
tetapi juga kerajaan-kerajaan yang namanya dipinjam dari Mahabarata.
Seperti halnya pada masa animisme dan
dinamisme masyarakat Jawa maka pada masa hinduppun ada upacara-upacara, yakni
wiwit yang diwujudkan pada pemujaan dewi sri, upacara kurban kerbau, pagelaran
wayang kulit dan juga penjamasan dan perawatan pusaka serta grebeg, dan
sebagainya.
3. Masa Islam
Masuknya Islam di Jawa
sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah yang beragam. Bukti faktual
barangkali adalah ditemukannya batu nisan kubur Fatimah binti Maemun di Leran
Gresik, bukti yang lain adalah adanya masjid yang menunjukkan adanya komunitas
muslim yang pernah ada, dan juga adanya kaligrafi serta letak tata kota.
Sulit untuk mengetahui tokoh yang pertama
kali memperkenalkan islam di Jawa dari fakta tradisional, akan tetapi hal itu
dapat ditelusuri melalui alur hubungan negeri Cempa-Majapahit. Ditemukannya
beberapa makam disitus istana Majapahit, yang pada kesimpulan bahwa makam
tersebut adalah makam orang-orang muslim dan menunjukkan tahun kejayaan
majapahit.
Islam yang berkembang di Indonesia
mula-mula adalah sufi yang salah satu cirinya adalah sifatnya yang toleran dan
akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, namun hal ini disatu
sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisme dan pencampur
adukan antara islam dan budaya asli, namun aspek positifnya, ajaran yang
disinkretasikan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan Jawa dalam
menerima Islam.
Konsep masuknya unsur-unsur simbolisme dan ikonografi
Hindu dan Budha kedalam Islam Jawa sama seperti Islam di timur tengah menyerap
unsur-unsur tradisi Hellenistik dan Persia.
Sebagai contoh upacara surtanah, nelung dino,
mitung dino, matang puluh, nyatus, mendah, dan nyewu, tidak
dihilangkan tetapi dibiarkan berlanjut diwarnai dan diisi dengan unsur dari
agama islam. Midodareni yang merupakan upacara yang dilangsungkan pada malam
hari pernikahan, yang mana dsimaksudkan agar keluarga pengantin lebih dekat
dengan bidadari dan saat itu pengantin tidak boleh tidur sampai tengah malam
maka saat islam datang diganti dengan pembacaan Al Barzanji, Kalimah Thoyyibah
dan Tahlil. Dan sebagainya.
Secara luwes Islam memberikan warna baru pada
upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selametan, didalam upacara ini
yang pokok adalah pembacaan doa.
Dari uraian diatas tentang hubungan antara
budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan ritual diatas menunjukkan secara
jelas, baik tersirat maupun tersurat, secara langsung maupun tidak langsung
bahkan memang telah terjadi dalam kehidupan keberagaman orang Jawa suatu upaya
untuk mengakomodasikan antara nilai-nilai Islam dengan Budaya Jawa pra-Islam.
2.3 ISLAM DAN
KEBUDAYAAN MELAYU
Sebenarnya yang disebut Melayu bukanlah
suatu komunitas etnik atau suku bangsa. Namun dalam hal ini masyarakat
merupakan kumpulan etnik-etnik serumpun yang menganut agama yang sama dengan
menggunakan bahasa yang sama. Etnik-etnik serumpun yang lain pada umumnya
menempati suatu daerah tertentu, tetapi arang Melayu tidak, dimanapun berada
bahasa dan agama mereka sama, melayu dan islam. Karena itu tidak mengherankan
apabila ke-Melayuan identik dengan ke-susastraan Islam.
Kepulauan melayu merupakan gerbang masuk
terdepan bagi pelayaran ketimur. Karena itu tidak heran jika kerajaan-kerajaan
islam awal seperti samudra pasai (1270-1514 M) dan Malaka (1400-1511 M) muncul
disini.
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa
kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera bernama Barus atau yang
juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang
berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan.
Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya
mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Baruspun
masuk dalam wilayah Aceh.
Abad ke-16 dikepulauan
Melayudan pesisir Jawa tradisi intelektual Islam mulai terbentuk, kitab-kitab
keagaamaan dan sastra Islam telah ditulis dengan produktifnya dengan bahasa
Melayu dan Jawa Madya. Pengaruh tasawuf sangat dominan dalam pemikiran
keagamaan dan penulisan karya sastra. Pokok-pokok yang dibahas dalam
kitab-kitab melayu meliputi bidang fiqih, syari’ah, ushuluddin, kalam,
falsafah, akhlak, tafsir qur’an, hadits dan lainnya.
Abad ke-18, terjadi proses ortodoksi atau
penekanan terhadap syari’ah. Beberapa tarikat sufi mengalami pembaruan dan
tumbuh menjadi organisasi keagamaan pada aktivisme keduniaan.
Penempatan pusat-pusat kajian dalam agama
Islam yaitu istana, pesantren dan pasar. Istana sebagai pusat kekuasaan
berperan dibidang politik dan penataan kehidupan sosial. Pesantren berperan
dibidang pendidikan, sebagai pusat kegiatan tariqat sufi, pada saat itulah
pesantren mampu membentuk jaringan kepemimpinan intelektual dan penyebaran
agama dalam berbagai tingkatan dan antar daerah.
A. Nilai budaya masyarakat
Melayu
Usaha dalam menghidupkan kebudayaan Melayu
akhir-akhir ini berlangsung cukup marak. Berbagai kegiatan dalam usaha
menghidupkan kebudayaan Melayu kerap kali dilakukan, mulai dari penerbitan
buku, festival, seminar, sampai pemberian penghargaan dalam memajukan
kebudayaan Melayu. Semua itu jelas menunjukkan adnya kesadaran genersi
Melayu akan kebesaran kebudayaan mereka dan pentingnya menjaga kesinambungan
kebudayaan Melayu itu sendiri kini dan esok, bahkam juga memajukannya
sampai pada tingkat yang membanggakan, seperti yang telah dicapai kebudayaan
Melayu pada masa lampau.
Etos kerja Melayu meliputi :
a) Hubungan manusia
dengan Tuhan
Unsur-unsur penting dari kebudayaan Melayu
yaitu :
1)
Bahasa Melayu, sejak abad ke-7 bahasa Melayu sudah menjadi lingua-franca
(bahasa penghubung) dalam dunia perdagangan, disamping itu bahasa Melayu juga
menghasilkan corak atau watak dalam bahasa itu sendiri.
2)
Beradat istiadat Melayu, hal ini terlihat dalam pepatah Melayu mengatakan ”
Biar mati anak jangan sampai mati adat”. Artinya kalau mati anak ributnya hanya
satu kampung, kalau mati adat akan ribut atau gempar satu negara.
3)
Beragama Islam, Islam merupakan salah satu sumber isi sekaligus bentuk
kebudayaan Melayu dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga
maupun masyarakat. Kebudayaan Melayu juga nengajarkan hal-hal yang dilarang
maupun yang diperbolehkan, sebagaimana sesuai dengan ajaran Islam.
b) Hubungan manusia
dengan lingkungan Masyarakat dengan lingkungan.
1)
Hubungan Vertikal, seseorang yang mengutamakan hubungan ini lebih bersifat
individualitis, menilai tinggi anggapan bahwa manusia itu harus berdiri
sendiri, namun dalam penyampaiannya tetap memerlukan bantuan orang lain.
2)
Hubungan Horizontal antar manusia dengan sesamanya, seseorang yang mengutamakan
hubungan ini akan sangat merasa kepada sesamanya.
c)
Hubungan manusia pada lingkungan alam
Pada umumnya dalam kehidupan masyarakat
Melayu, mereka membedakan wujud alam menjadi 2 yaitu :
1) Alam gaib,
pada dasarnya pemikiran orang Melayu mengenai alam gaib merupakan sisa-sisa
kepercayaan lama sebelum orang Melayu memeluk Islam yakni animisme dan
dinamisme. Pemikiran tentang adanya alam gaib membuahkan kepercayaan adanya
kekuasaan diluar kekuasaan manusia, seperti adanya gunung, laut, hutan dan
sebagainya. Untuk menjembatani hubungan manusia dengan alam, masyarakat meminta
bantuan kepada pawang, bomo atau dukun, yang mana dipercayai memiliki
mantera-mantera tertentu.
2)
Alam Nyata yakni alam semesta ciptaan Tuhan, yang keberadaannya bisa dilihat
dan dirasakan oleh manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar